“Menikahlah
dengan Fini le’,” pinta bunda untuk kesekian kalinya.
“Insya
Allah, dia perempuan yang shalehah, dan bisa menjadi istri yang baik kelak
untuk kamu!”
Ini
sudah permintaan kesekian ibu untuk menikah dengan gadis pilihannya. Aku hanya
menunduk dan tak berani menatap mata ibu. Tak sanggup aku melihat wajah teduh
ibu yang pasti rautnya bakal berubah setelah aku selalu menolak permintaannya.
Baru kali ini aku berat untuk mengiyakan permintaan beliau.
“Tapi
aku sudah punya calon istri sendiri bu, aku…” tak sanggup aku melanjutkannya.
Ibu
memelukku.
“Iya,
ibu paham, tapi ibu mohon satu kali ini saja, sebelum ibu menyusul ayahmu. Ibu
ingin melihat kamu menikah dengan perempuan yang hati ibu inginkan,” suara ibu
mulai parau.
Kurasakan
ada air yang menetes ke atas pundakku. Malam itu badanku hanya dibalut kaos
singlet putih.
“Ibu
sudah melihat Fini. Menyelidikinya, dan menurut penilaian ibu, dia bisa
menjagamu, menjaga anak-anakmu dan juga menjaga
ibu. Ia perempuan yang baik le’. Lembut perangainya, halus budi pekertinya, dan
insya Allah dia sederhana lagi bersahaja,” masih dalam pelukan, suara ibu mulai
melemah di telingaku.
“Tapi
bagaimana dengan Via, bu?”
“Ibu
tahu kamu sudah memilih Via. Tapi dia itu belum pasti,” kali ini ibu mencoba
mempengaruhiku.
“Kamu
tak perlu takut. Insya Allah Fini adalah perempuan dengan wajah cantik. Ibu
menjamin itu,” tegasnya.
“Beri
aku waktu setidaknya satu minggu bu. Aku ingin istikharah.”
Aku
tidak mampu lagi menjawab.
Ah,
ibu, seandainya engkau tahu betapa dalam perasaanku kepada Via. Meski aku hanya
mengenalnya lewat tulisan-tulisan tangan. Via, sahabat penaku, perempuan yang
aku kenal dari sebuah forum penulis di salah satu majalah remaja dulu. Meski
aku belum pernah bertemu langsung, penilaianku langsung merujuk ke angka
delapan. Aku bisa menggambarkan dirinya hanya dari tulisan-tulisannya. Ia
perempuan yang memiliki kelembutan. Wangi suratnya mengisyaratkan wangi
rambutnya. Halus sulaman kata-kata yang digunakannya mewakili perangainya. Dan
doa yang selalu dikirimkannya menggambarkan keshalehannya.
Harus
bagaimana aku nanti bila surat Via datang menjengukku. Terakhir kali aku
berkirim kabar bahwa ibu ingin menjodohkanku dengan perempuan pilihannya. Itu
satu bulan lalu. Kulanggar perjanjian kami, untuk tidak memberikan nomor HP,
alamat jejaring sosial, ataupun foto. Di surat terakhir itu kecuali nama dan
alamat, kuselipkan secarik foto untuk kali pertama. Dibelakang foto kutuliskan
nomor HPku. Aku ingin tahu reaksinya.
Namun
setelahnya, surat-surat Via alfa menyambangi rumahku. Ia tidak rajin lagi
menitipkan rindu seperti dalam goresan penanya. Entah ia marah atau ingin
menjaga hati. Barangkali juga menjaga jarak.
***
Satu
pekan berlalu. Tidak ada jawaban dari Via. Tidak ada surat. Apalagi telepon dan
pesan pendek yang mampir ke HP lawasku. Aku pun memutuskan mengiyakan
permintaan ibu. Meski pun surat Via datang, sebenarnya sangat berat aku menolak
permintaan ibu. Setelah Ayah menghadap Ilahi ketika aku berusia 10 tahun, hanya
aku yang menjadi kebanggaan ibu. Anak semata wayangnya. Aku tidak sanggup
melihat wajah kecewa ibu saat keluar kalimat penolakan dari mulutku. Aku tidak
sanggup menjadi durhaka. Maafkan aku ya Rabb. Aku akan “samina wa atoqna”.
Semoga Engkau meridhai jalan yang aku pilih. Bukankah ridha Allah itu ridha
orangtua?
Ibu
gembira. Kesibukan pun langsung melanda rumah mungil peninggalan almarhum Ayah.
Rumah sibuk berhias. Ibu dibantu keluarga dan tetangga repot mempersiapkan seserahan.
Tak menunggu waktu, ibu menyeretku ke toko emas di pasar dekat rumah.
“Keluarkan
uangmu, kita beli mahar perhiasan emas untuk calon istrimu. Ibu yang
memilihkan,” ujarnya penuh semangat.
Gembira
jiwa ini melihat ibu sumringah. Tapi hati ini masih diayun-ayun bimbang.
Pertemuan
kedua keluarga pun terjadi. Ibu Fini adalah teman
ibu sewaktu mengikuti penataran sebagai guru
beberapa tahun silam. Karenanya mereka sangat akrab, kendati usia ibuku 10
tahun lebih tua.
Aku
terdampar di rumah Fini di Selatan Jakarta. Kulirik sedikit wajahnya yang
berhias sedikit polesan. Bibirnya tersapu gincu tipis. Cantik juga. Wajahnya
putih bersih, matanya berbinar, pipi tambun berlesung bersanding dengan hidung
mungilnya. Kacamata cemantel di depan matanya. Balutan jilbab merah
menyempurnakan penampilannya. Tapi hati ini masih bimbang.
Satu
pekan setelah acara khitbah, Akad Nikah
dilaksanakan, walimah pun digelar. Aku tidak banyak mengundang teman-teman
kantorku. Tapi tamu yang hadir cukup banyak datang silih berganti. Kudengar
orang tua Fini mengundang seribu relasinya. Di antara ribuan orang tersebut,
aku mencari sosok Via. Berharap dia datang. Ahh.. aku hanya berkhayal,
bagaimana ia tahu aku menikah hari ini, bila aku tak pernah lagi berkirim surat
dengannya.
Malam
pun tiba. Setelah lelah seharian menjadi raja yang dipajang di atas pelaminan.
Usai membasuh riasan dan mengganti pakaian, aku masuk kamar pengantin yang
serba putih. Seprai, bantal, guling dan dinding yang dihiasi kain putih. Aku
duduk mematung di pinggir tempat tidur.
Sementara
Fini, istriku, baru keluar dari kamar mandi. Ia memakai gaun putih panjang
pemberianku yang ada dalam seserahan. Fini jauh lebih cantik bila rambutnya
tergerai. Wajah dan tubuhnya begitu menggoda. Tapi tidak hatiku.
Ia
mendekatiku. Tersenyum namun wajahku datar. Tipis kulempar senyum agar canggung
mencair.
Fini
semakin mendekatiku. Duduk merapat di samping kananku. “Mas akhirnya kamu jadi
halal untukku,” suaranya merdu.
Baru
kali ini aku mendengar secara utuh, setelah seharian aku hanya membisu di
pelaminan ketika ia mengajak bicara. Berkhayal Via yang ada di kamar itu.
Berdua dengannya.
Kepalanya
direbahkan ke pundakku. Sedikit kaget, tapi kubiarkan. “Maaf, aku masih kaku,”
kataku untuk menyembunyikan keraguan.
“Aku
tahu,” ujarnya melemahkan dan mengangkat kepalanya.
Dahiku
berkerut. “Kamu tahu apa?”
“Apa
kamu mencintai perempuan lain?” pertanyaannya menampar hatiku.
Lidahku
mematung di dalam mulut. Ia mengetahui bila ada perempuan yang lebih dulu
menyambar hatiku. Jelas saja, sikap dinginku adalah refleksi dari
pertanyaannya. Aku diam.
“Diammu
itu adalah jawaban mas.”
Ya
Allah, maafkan aku bila pikiran ini sudah masuk ke dalam ranah selingkuh.
Padahal di hadapanku ada bidadari teramat cantik.
“Mas,
kamu pasti sedang memikirkan Via?” wajahku bingung.
Kuputar
posisi duduk ke hadapannya.
“Dari
mana kamu tahu tentang Via?” masih dalam heran.
Dia
beranjak dan mengambil sebuah kotak kayu kira-kira berukuran 150x250mm dari
dalam lemari pakaian. Kulihat di dalamnya ada puluhan, bahkan ratusan surat
terdokumentasi rapi di dalam kotak warna coklat. Ia mengambil selembar foto dan
selembar surat yang letaknya paling atas.
Surat
itu, aku mengenalnya. Dan itu fotoku yang kuselipkan di surat terakhir yang
kukirim ke Via. Ia tersenyum ketika kurebut surat itu.
“Aku
Via mas. Nama Via adalah nama panggilan aku di rumah. Fini adalah nama
singkatan dari namaku, Fitria Handayani. Aku meminta ibu memberitahukan nama
itu. Maaf bila aku menyembunyikan nama asliku.”
“Awalnya
aku juga menolak dijodohkan, tapi ketika ibu memperlihatkan foto kamu, hatiku
riang. Aku menggali informasi dari ibu untuk memastikan bahwa kamu dan foto
yang ibu bawa adalah orang yang sama. Aku sudah tahu bahwa kamu adalah lelaki
yang dijodohkan ibu dan mamah. Karena itu aku tidak menjawab surat terakhir
kamu. Aku ingin membuat kejutan kepada penjaga hati dan tubuhku,” ujarnya
sembari mengulum senyum.
Kedua
mataku basah. Berair. Ini adalah air mata dari mata air surga. Ya Allah, engkau
menyiapkan kado terindah yang tidak pernah
aku duga. Ternyata Via dan Fini berasal dari satu jiwa. Ia wanita yang
kucintai. Ibu ternyata mengerti keinginan anaknya.
Hujan
pun bersenandung riang malam itu, mengiringi malam pengantin kami.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar